Senin, 26 Desember 2016

Filosofi Biji

Filosofi Biji
Aku memejamkan mataku. Terguncang bahuku menahan kepedihan yang teramat. Kenapa mereka begitu tega memperlakukanmu sedemikian. Aku menangis dalam diamku, tapi air mataku tak mungkin bisa menyembunyikan sakit yang aku rasakan.
Aku lihat engkau diam tak bergeming. Memandangi selembar kertas yang baru saja dikirimkan oleh tukang pos ke rumah kita. Matamu memerah.
“Astaqfirullah..” engkau bergumam sambil memejamkan mata.
“Sudahlah Pa, ini pasti yang terbaik dari Allah.” Aku mencoba menguatkan hatimu. Aku menggenggam tanganmu untuk memberitahumu bahwa ada aku disampingmu untuk melalui semua masa-masa sulit ini.
Aku mendorong kursi rodamu ke dekat taman di ruang tengah, tempat dimana biasanya engkau menghabiskan hari-hari beberapa bulan ini.
“Mama siapkan sarapan dulu ya Pa..” Aku berlalu sambil menyeka air mataku. Engkau tetap tak bergeming, diam dengan muka datar. Jika aku saja sehancur ini, bagaiman engkau wahai suamiku.
Surat pemecatanmu yang datang dikirim tukang pos pagi ini benar-benar telah membawa awan gelap pada aura wajahmu. Disaat engkau berjuang memulihkan rasa traumamu atas kecelakaan itu, kawan-kawan yang kau harapkan datang memberi semangat tak nampak datang. Hanya di awal saja, setelah itu semua seakan menjauh dan berlari. Dan surat itu telah mengabarkan kepada kita, bahwa perusahaan tempatmu bekerja tak lagi mau terbebani olehmu.
Aku menarik nafas panjang. Mencoba melegakan dadaku yang terasa sangat sesak. Terbayang bagitu banyak kewajiban yang harus kita tanggung ke depannya. Biaya sekolah anak-anak, cicilan mobil, asuransi, biaya kebutuhan rumah dan kebutuhan lainnya. Aku memejamkan mataku, bantu kami ya Allah.
Semua mata memandangmu kagum. Mereka semua tersenyum dan menyalamimu memberikan ucapan selamat atas prestasi yang kau raih. Ruangan ini menjadi saksi bahwa begitu banyak orang yang ingin ada di posisimu, kehidupan yang sempurna seperti yang mereka katakan. Karir yang cemerlang, keluarga harmonis, anak-anak yang sehat dan pintar, serta kawan-kawan yang selalu setia mendampingi.
Tapi ada hati yang ketakutan, hati yang mengkhawatirkan mu. Aku bahagia atas semua pencapaian karirmu selama ini, kau telah menunjukkan pada kami bahwa kau memang layak mendapatkan posisi terbaik diperusahaan. Tapi jujur, aku mengkhawatirkanmu. Kau semakin sibuk dan terlihat kesulitan membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Diposisi yang sebelumnya saja, kau sering mengabaikan kami bagaimanalah nanti diposisimu yang jauh lebih tinggi ini.
Aku memendam kekhawatiranku sendiri. Terdiam diantara riuh reda ucapan selamat yang diberikan kawan-kawanmu kepadamu. Aku mencoba ikut bergembira di acara makan malam yang sengaja dirancang untuk memberikan penghormatan atas jabatan baru yang kau raih.
“Pa, mama mau buka usaha ya. Usaha rumahan, biar kita bisa ada penghasilan. Sekaligus mama juga tetap bisa urus papa.” Kataku perlahan sambil menyuapi makanan kepadamu.

Sejak kecelakaan itu, kau mengalami kelumpuhan. Tangan dan kakimu tidak dapat digerakkan. Benturan di belakang kepalamu telah menyebabkan gegar otak dan beberapa pembuluh darah diotakmu pecah. Kau lumpuh dan tak bisa melakukan apa-apa. Kau juga tidak mampu lagi berpikir terlalu berat.

“Maafkan papa ya ma” Engkau berkata terbata-bata. Aku tersenyum.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan pa, ini sudah takdir Allah. Ada banyak hikmah yang bisa kita ambil dari kejadian ini.” Aku terus menyuapimu seraya memberimu kekuatan untuk terus bersemangat menjalani hidup.

“Mungkin ini hukuman dari Allah, karena selama ini papa terlalu membanggakan pekerjaan papa dan sering mengabaikan keluarga. Papa menyesal ma.” Kau menatapku tajam.

Aku tersenyum. Aku memang ingin kau meluangkan banyak waktu untuk kami, tapi bukan dengan kondisi seperti ini. Aku meraih tangan kananmu yang terkulai lemas diatas sandaran tangan kursi rodamu. Ku letakkan tangan itu di wajahmu. Tangan yang dulu selalu membelaiku dengan lembut, walaupun akhirnya belaian itu semakin berkurang saat karirmu semakin menanjak.

“Allah lebih tau apa yang terbaik untuk kita Pa. Semoga saja dengan semua masalah hidup kita, menjadikan kita lebih dekat kepadaNya. Lebih sering mengingatNya dan semakin menyadari KebesaranNya.”

Aku mendorog kursi rodanya ke taman samping. Berjalan menuju kolam ikan koi kesukaannya.

“Papa tau filosofi biji? Dia keras dan seperti mati. Tapi sebenarnya dia bisa hidup. Dan untuk menghidupkannya, kita perlu menanamnya, memendamnya didalam tanah. Untuk sejenak biji itu akan mengalami masa gelap didalam tanah, mungkin juga tak ada oksigen. Tapi setelah itu, biji itu akan tumbuh kan. Begitu juga kita Pa, mungkin Allah memberi kesempitan dan masalah dalam hidup kita agar hati kita menjadi hidup dan mengenal Allah.” Aku memelukmu dari samping.
“Mungkin dulu kita banyak mengabaikan Allah, menjauh dariNya. Dengan adanya masalah ini, kita seharusnya semakin dekat dengan Allah. Allah rindu kita Pa, Allah ingin kita kembali meminta kepadaNya, Allah ingin kita selalu bergantung hanya kepadaNya. Bukan kepada pekerjaan, bukan pada teman-teman dikantor. “
Aku melihatmu menitikkan air mata. Aku memelukmu sembari berdoa “Kami datang ya Allah, bantu kami untuk mengenalimu, bantu kami untuk mendekat kepadamu.”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar