Senin, 26 Desember 2016

DUALISME

DUALISME
Menurut aliran dualism, kenyataan sejati pada dasarnya adalah baik bersifat fisik maupun spirituan. Semua hal dan kejadian di alam semesta ini –apakah itu pergerakan binatang-gemitang di angkasa raya maupun perilaku dan berbagai kejadian dalam sejarah umat manusia- pada dasarnya tidak bisa diasalkan hanya pada satu substansi atau esensi saja. Tidak betul jika di katakan bahwa esensi kenyataan adalah sesuatu yang bersifat fisik material, karena banyak kejadian di dunia ini yang tidak bisa di jelaskan beradasarkan pada gejala – gejala yang bisa diukur oleh ilmu – ilmu alam atau diamati oleh panca indra. Tidak betul juga jika dikatakan bahwa esensi kenyataan adalah roh atau jiwa, karena siapapun tidak bisa menyangkal keberadaan dan kekuatan yang nyata dari materi. Yang betul adalah bahwa kenyataan sejati merupakan perpaduan antara materi dan roh
Apa yang merupakan esensi dari kenyataan adalah juga esensi dari manusia. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua substansi, yakni materi dan roh., atau tubuh dan jiwa. Tubuh adalah substansi yang cirri atau karakteristik nya adalah berkeluasan (rex extensa), menempati ruang dan waktu. Karena karakteristik dari tubuh adalah rex extensa, maka siapapun bisa mengamati, menyentuh, mengukur, dan mengkuantifikasikan nya. Akal sehat dan ilmu – ilmu dalam organisme (tubuh) –apakah itu biolohi, fisiologi, atau ilmu kedokteran –mampu menjelaskan bahwa sebagian dari perilaku hewan dan manusia pada dasarnya merupakan fungsi dari tubuh (terutama sistem syaraf pusat). Ini berarti bahwa materi atau tubuh itu ada dan keberadaannya bersifat niscaya dan tidak bisa ditolak.
Akan tetapi, dengan diakuinya keberadaan tubuh, tidak berarti harus menolak keberadaan jiwa, meski tidak bisa diamati secara indrawi, tetapi bisa dibuktikan melalu rasio (pikiran) menurut Descartes, keberadaan jiwa, yang karakteristiknya adalah res cogitans (berpikir) jurus lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan keberadaan tubuh. Untuk membuktikan pendapatnya tersebut, Descartes mengajak untuk merpikir secara skeptis. Mari kita meragukan keradaan apa aja yang bersifat fisik, tanpa kecuali –apakah itu keradaan computer didepan kita kekasih kita yang sedang berada di samping kita, kejadian – kejadian kemaren atau beberapa tahun yang lalu, atau bahkan keradaan tubuh kita sendiri. Semua hal itu bisa kita ragukan keradaannya. Misalkan saja, baik computer, kekasih, maupun tubuh kita itu ternyata tidak ada karena itu semua hanya halusinasi kita, atau hanya ada dalam mimpi kita, bukan kenyataan yang sebenarnya. Akan tetapi, ada satu hal yang tetap tinggal tidak bisa diragukan, meski kita berusaha keras untuk meragukannya. Hal yang tidak bisa ragukan keberadaannya itu “aku” yang sedang meragukan atau sedang berpikir. Descartes menyebutnya, “cogito ergo sum” – “aku berpikir (meragukan), maka aku ada”. Aku yang sedang berpikir atau meragukan itu di pastikan bukan materi,bukan sesuatu bersifat fisik. Sesuatu yang bersifat fisik, termasuk tubuh saya, bisa saya ragukan, misalnya seperti yang di alami oleh penderita skizofren tertentu yang meyakini bahwa tubuhnya adalah segumpal daging yang di pinjam dari planet lain. Kalau begitu, siapa saya yang sedang meragukan itu? Saya yang sedang meragukan adalah suatu substansi yang bersifat rohani, yang tidak bisa di amati tetapi ada dan selalu mengamati. Roh atau jiwa ini adanya bersifat mutlak dan tidak bisa di ragukan, meski sebagai sesuatu yang bersifat spiritual ia tidak menempati ruang dan waktu, tidak bisa di ukur, dihitung, atau di kuantifikasi sebagaimana materi.
Jika benar demikian maka esensi manusia tidak bisa lain adalah jiwa dan tubuh. Akan tetapi, bagaimana kita bisa memahami substansi yang tidak menempati ruang dan waktu? Ilmu pengetahuan mampu memahami benda-benda fisik termasuk sel-sel tubuh manusia, tetapi bagaimana mungkin ia mampu memahami jiwa manusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar