Senin, 17 Oktober 2016

Mengapa ada filsafat dalam pendidikan

Kedudukan filsafat dalam pendidikan merupakan fondasi yang tidak dapat diganti oleh dasar lainnya dan sebagai landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijakan dan pelaksa­naan pendidikan. Filsafat merupakan pandangan hidup yang menentukan arah dan tujuan proses pendidikan, karena itu filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendidikan itu pada hakikatnya adalah proses pewarisan nilai-nilai filsafat yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik dari keadaan yang sebelumnya.
Filsafat dan pendidikan, keduanya merupakan semacam usaha yang sama. Berfilsafat ialah mencari nilai-nilai ide (cita-cita) yang lebih baik, sedangkan pendidikan menyatakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan pribadi manusia. Pendidik­an bertindak mencari arah yang terbaik, sedangkan filsafat dapat memberi latihan yang pada dasarnya diberikan kepada anak. Hal ini bertujuan untuk membina manusia dalam membangun nilai-nilai yang kritis dalam watak mereka. Dengan jalan ini, mereka mempunyai cita-cita hidup yang tinggi dengan berubah­nya filsafat yang tertanam dalam diri mereka. Dengan demikian, filsafat sebagai landasan pendidikan adalah landasan mencari kesatuan pandangan untuk memecahkan berbagai problem dalam lapangan pendidikan.
Filsafat, jika dilihat dari fungsinya secara praktis, adalah sebagai sarana bagi manusia untuk dapat memecahkan berba­gai problematika kehidupan yang dihadapinya, termasuk dalam problematika di bidang pendidikan. Oleh karena itu, apabila dihubungkan dengan persoalan pendidikan secara luas, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan arah dan pedoman atau pijakan dasar bagi tercapainya pelaksanaan dan tujuan pendidik­an. Jadi, filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan yang merupakan penerapan analisis filosofis dalam lapangan pendidikan.
Keberadaan filsafat dalam ilmu pendidikan, bukan merupakan insidental. Artinya, filsafat itu merupakan teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Filsafat mengajukan pertanyaan-perta­nyaan dan menyelidiki aspek-aspek realita dan pengalaman yang banyak didapatkan dalam bidang pendidikan. Dengan melihat tugas dan fungsinya, maka pendidikan harus dapat menyerap, mengolah, menganalis, dan menjabarkan aspirasi dan ideali­tas masyarakat itu dalam jiwa generasi penerusnya. Untuk itu, pendidikan diharapkan bisa menggali dan memahami melalui pemikiran filosofis secara menyeluruh. Oleh karena itu, filsafat merupakan teori umum, sebagai landasan dari semua pemikiran umum mengenai pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah tujuan filsafat, yaitu untuk membimbing kearah kebijaksanaan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah realisasi dari ide-ide filsafat. Filsafat memberi asas kepastian bagi peranan pendidikan sebagai wadah pembi­naan manusia yang telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas pendidikan. Jadi, filsafat pendidikan merupakan jiwa dan pedoman dasar pendidikan.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, sebab filsafat itu merupakan jiwa bagi pendidikan. Dan untuk merealisasikan pandangan filsafat tentang pendidikan, ada beberapa unsur yang dapat dijadikan tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut, meliputi (1) dasar dan tujuan pendidikan, (2) pendidikan dan peserta didik, (3) kurikulum, dan (4) sistem pendidikan.
1. Dasar dan tujuan
Dasar pendidikan merupakan suatu asas untuk mengem­bangkan bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, karena pendidikan memerlukan landasan kerja untuk membe­ri arah bagi programnya. Di samping itu, asas tersebut juga bisa berfungsi sebagai sumber peraturan yang akan digunakan sebagai pegangan hidup dan pegangan langkah pelaksanaan.
Secara umum, tujuan pendidikan dapat dikatakan dapat membawa anak ke arah tingkat kedewasaan. Artinya, membawa anak didik agar dapat mandiri dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, tujuan pendidikan juga dapat memeng­aruhi strategi pemilihan teknik penyajian pendidikan yang dipergunakan untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan. Sedangkan tujuan pendidikan yang lain adalah perubahan yang diusahakan untuk mencapaitujuan pendidik­an pada tingkah laku individu maupun pada kehidupan pribadi, baik kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Jadi, dasar dan tujuan pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengem­bangkan bidang pendidikan menuju terbinanya kepribadian yang tinggi sesuai dengan dasar persiapan pendidikan. Setiap perbuatan pendidikan ini merupakan bagian dari suatu proses menuju suatu tujuan yang telah diharapkan dan ditentukan oleh masyarakat.
2. Pendidik dan peserta didik
Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi pendidikan untuk menca­pai tujuan pendidikan (Yusuf,1982:53). Individu yang mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasma­ni dan ruhani, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggung risiko dari segala perbuatannya.
Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab itulah yang pertama dan utarna dituntut dari seorang pendidik. Tanpa pendidik, tujuan pendidikan manapun yang telah dirumuskan tidak akan dicapai oleh anak didik.
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkem­bang, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembarigan mental. Setiap kegiatan pendidikan sudah pasti memerlukan unmu anak didik sebagai sasaran dari kegiatan tersebut. Yang dimaksud anak didik di sini adalah anak yang belum dewasa yang memer­lukan bimbingan dan pertolongan dari orang lain yang sudah dewasa dalam melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai individu.

3. Kurikulum
              Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan dalam suatu lemba­ga kependidikan. Segala hal yang harus diketahui, diresapi dan dihayati oleh anak didik haruslah ditetapkan dalam kurikulum. Dan, segala hal yang harus diajarkan oleh pendidik pada anak didiknya pun haruslah dijabarkan dalam kurikulum. Kurikulum tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan pendidik dan anak didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, kurikulum itu menggambarkan kegiatan belajar mengajar dalam suatu lembaga pendidikan.
Hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Sebagai isi dan jalan untuk mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum menyang­kut masalah-masalah nilai, ilmu, teori, skill, praktik, pembinaan mental, dan sebagainya. Ini berarti, bahwa kurikulum itu harus mengandung isi pengalaman yang kaya demi realisasi tujuan. Dengan kata lain, kurikulum harus kaya dengan pengalaman­pengalaman yang bersifat membina kepribadian. Jadi, hubungan kurikulum dengan pandangan filsafat terutama tampak pada bentuk-bentuk kurikulum yang dilaksanakan. Satu asas filosofi itu menjadi latar belakang pendidikan itu berupa nilai demokrasi misalnya, maka prinsip kebebasan, prinsip berpikir, dan individualistis akan selalu diutamakan.
4. Sistem pendidikan
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat, dengan memilih materi, strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai.
Dalam sejarah pendidikan dapat dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai bagaimana perkembangan manusia itu berlangsung. Beberapa aliran tentang perkembangan manusia dan hasil pendidikan itu adalah:
a. Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidupnya, sebagaimana John Locke berpendapat bahwa anak yang di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulis­an di atasnya.
b. Nativisme. Ini merupakan teori yang bertolak belakang dengan teori empirisme, bahwa bayi lahir dengan pembawaan baik dan pembawaan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan dan perkembang­an manusia, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir.
c. Naturalisme, bahwa semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anak pun lahir dengan pembawaan buruk. Aliran ini bersifat negativisme, di mana pendidik wajib membiarkan pertum­buhan anak didik secara alamiah.
d. Konvergensi, bahwa anak dilahirkan dengan pembawaan baik maupun buruk. Menurutnya, hasil pendidikan itu tergantung dari pemba­waan dan lingkungan, seakan-akan seperti dua garis yang menuju satu titik pertemuan. Teori konvergensi ini berpan­dangan bahwa: (1) pendidikan mungkin diberikan; (2) yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu sendiri; dan (3) pendidikan diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang diberikan pada lingkungan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang buruk.
Dari keempat aliran/teori perkembangan manusia dan teori pendidikan tersebut, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandang­an hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikan atau sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan (Djumberansyah,1994:16).
Adapun korelasi antara filsafat pendidikan dan sistem pendidikan itu adalah:
1. Bahwa sistem pendidikan atau science of education bertugas merumuskan alat-alat, prasarana, pelaksanaan teknik-teknik dan/atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran dengan makna akan dicapai dan dibina tujuan-tujuan pendidik­an,
2. Isi moral pendidikan atau tujuan intermediate adalah perumusan norma-norma atau nilai spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan dan/atau merupakan konsepsi dasar nilai moral pendidikan, yang berlaku di segala jenis dan tingkat pendidikan;
3. Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi bertugas merumuskan secara normatif dasar-dasar dan tujuan pendi­dikan, hakikat dan sifat hakikat manusia, hakikat dan segi-segi pendidikan, isi moral pendidikan, dan sistem pendidikan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa filsafat dalam pendi­dikan merupakan tata pola pikir terhadap permasalahan di bidang pendidikan dan pengajaran yang senantiasa mempu­nyai hubungan dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain yang diperlukan oleh pendidik atau guru sebagai pengajar dalam bidang studi tertentu.

Hubungan filsafat dengan pendidikan

filsafat dan pendidikan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, baik dilihat dari proses, jalan, serta tujuannya. Hal ini sangat terpahami karena pendidikan pada hakikatnya merupakan hasil spekulasi filsafat, terutama sekali filsafat nilai, yaitu terkait dengan ketidakmampuan manusia di dalam menghindari fitrahnya sebagai diri yang selalu mendamba makna-kesamaan di dalam proses, ruang etika, dan ruang pragmatis.
Di satu sisi, manusia selalu menjadi satu-satunya primate yang selalu menyerukan kebaikan, cinta, dan kebenaran. Namun, bersamaan dengan itu, manusia pula satu-satunya makhluk yang dapat membunuh diri dan sesamanya dengan begitu tanpa alasan sama sekali, selain hanya sebuah kesenangan.
Dalam ruang inilah pendidikan bagi hidup manusia menjadi sesuatu hal yang penting untuk membawanya pada hidup yang bermakna. Dengan pendidikan, manusia akan mampu menjalani hidupnya dengan baik dan benar. Dengan demikian, ia bias tertawa, menangis, bicara, dan diam mengambil ukuran-ukuran yang tepat. Ini sangat berbeda dengan banyak diri yang tidak terdidik. Hubungan ini menurut pakar merupakan ilmu yang paling tertua dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karena itu, mereka menyebut bahwa filsafat adalah induk semua ilmu-ilmu pengetahuan di muka bumi ini.
Sementara, filsafat mengakui bahwa menurut substansinya yang ada itu tunggal, dan berada di tingkat abstrak, bersifat mutlak, serta tidak mengalami perubahan. Sedangkan, menurut eksistensinya, yang ada itu plural, berada di tingkat konkret, bersifat relative, dan mengalami perubahan terus-menerus.
Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia pengalaman itu bersal mula dari satu substansi. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menyikapi segala pluralitas ini agar tidak terjadi benturan antara satu dan lainnya? Misalnya, pluralitas jenis, sifat, dan bentuk manusia, binatang, tumbuhan, dan badan-badan benda berasal dari satu substansi. Apakah yang seharusnya dilakukan agar antara manusia satu dan lainnya tidak saling berbenturan kepentingan sehingga dapat mengancam keteraturan social dan ketertiban dunia?

Jawaban terhadap persoalan di atas adalah manusia harus bersikap dan berperilaku adil terhadap diri sendiri, masyarakat, dan terhadap alam. Agar dapat berbuat demikian, manusia harus berusaha mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai keberadaan segala sesuatu yang ada ini, dari mana asalnya, bagaimana keberadaannya, dan apakah yang menjadi tujuan akhir keberadaan tersebut. Untuk itu, manusia harus mendidik diri dan sesamanya secara terus-menerus.

Bertolak dari pemikiran filsafat tersebutlah pendidikan muncul dan memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba mendidika diri dan sesamanya dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi pengetahuan umum berupa wawasan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan kehidupan menjadi landasan bagi perilaku sehari-hari sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.

Tanpa filsafat,  pendidikan tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak tahu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filsafat tetap berada di dalam dunia utopianya. Oleh karena itulah, seorang guru harus memahami dan mendalami filsafat, khususnya filsafat pendidikan. Malalui filsafat pendidikan, guru memahami hakikat pendidikan dan pendidikan dapat dikembangkan melalui falsafah ontology, epistimologi, dan aksiologi.

Pengertian filosof pendidikan dan bagaimana penerapannya serta apa dampak dari pendidikan harus diketahui oleh guru karena pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi setiap manusia, termasuk guru di dalamnya. Jadi, seorang guru harus mempelajari filsafat pendidikan karena dengan memahami dan memaknai filsafat itu, akan dapat memberikan wawasan dan pemikiran yang luas terhadap makna pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan filsafat lainnya, misalnya filsafat hukum, filsafat agama, filsafat kebudayaan, dan filsafat lainnya.

Dalam pengertian tersebut, filsafat tidak lain bertujuan memvbawa manusia mengalami hidup yang dimilikinya dengan pandangan, pengalaman, pengetahuan, serta penghayatan yang baik dan benar. Dengan pemahaman tersebut, manusia mampu menyadari hidup yang dimilikinya dengan benar tanpa adanya.

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Oleh karena itu, dalam filsafat, jauh sebelum persoalan-persoalan mesti dicari jawabannya, filsafat selalu terlebih dahulu mempertahankan sejauh mana relebansi persoalan-persoalan tersebut. Adakah ia sungguh-sunggu memang sebuah problem atau justru hanya diproblematikakan saja?

Di sini, filsafat membahas sesuat dari segala aspeknya yang mendalam. Maka, dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaan menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relative karena kebenaran ilmu yang ditinjau dari segi yang dapat diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya, isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat ang di atas permukaan laut saja. Sementara, filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung e situ untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.

Sedangkan, pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya, yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembang ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya, pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bias mebebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan ruhani kea rah kedewasaan. Secara garis besar, pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, pendidikan; kedua, teori umum pendidikan; dan ketiga, ilmu pendidikan.

Dalam pengertian pertama, pendidikan pada umumnya mendidik yang dilakukan oleh masyarakat umum. Pendidikan seperti ini sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Pada zaman purba, kebanyakan manusia memerlukan anak-anaknya secara insting atau naluri, suatu sifat pembawaan, demi kelangsungan hidup keturunannya. Tindakan yang termasuk insting manusia antara lain sikap melindungi anak, rasa cinta terhadap anak, bayi menangis, kemampuan menyusu air susu ibu, dan merasakan kehangatan dekapan ibu.

Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, social, sampai kepada perkembangan iman. Kegiatan mendidik bermaksud membuat manusia menjadi sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Kegiatan mendidik adalah membudayakan manusia. Dalam pengertian kedua, pendidikan dalam teori umum, menurut John Dewey, “The general theory og education dan Philosophy is the general theory of education.” Dia tidak membedakan filsafat pendidikan dengan teori pendidikan atau filsafat pendidikan sama dengan teori pendidikan. Sebab itu, ia mengatakan pendidikan adalah teori umum pendidikan.

Konsep di atas bersumber dari filsafat pragmatis atau filsafat pendidikan progresif. Inti filsafat pragmatis yang berguna bagi manusia itulah yang benar, sedangkan inti filsafat pendidikan progresif mencari terus-menerus sesuatu yang paling berguna hidup dan kehidupan manusia. Dalam pengertian ketiga, ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu kesatuan. Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori.

Kamis, 13 Oktober 2016

Karakteristik perkembangan fisik

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN FISIK
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Faktor-faktor tersebut meliputi: pengaruh keluarga atau keturunan, gizi, tingkat sosial ekonomi, emosional, jenis kelamin, suku bangsa, serta ras.
Pengaruh keluarga atau keturunan
Yang dimaksud disini adalah faktor keturunan. Sebagai contoh anak yang kedua orang tua atau salah satu orang tuanya bertubuh tinggi besar, maka anaknya akan terlihat lebih besar dari anak seusianya. Tito terlihat paling besar diantara teman-temannya dikelas, karena ternyata ayahnya beretubuh besar walaupun ibunya bertubuh kecil.
Gizi
Anak yang dalam pertumbuhannya dibesarkan dengan gizi maupun perawatannya yang serba berkecukupan, akan terlihat lebih besar, tinggi dan sehat untuk seumurnya. Sebaliknya anak dengan tingkat ekonomi yang kurang, akan menjadikan anak lambat pertumbuhan badannya.
Tingkat Sosial Ekonomi
Anak yang dibesarkan oleh keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi biasanya akan lebih terpenihi semua kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan fisik.
Faktor Emosional
anak yang sering mengalami gangguan emosional akan menyebabkan terbentuknya steroid adrenal yang berlebihan, yang dapat menyebabkan berkurangnya pembentukan hormon pertumbuhan dikelenjar pituitary. Sebagai contoh, anak yang selalu mendapat tekanan, sering dimarahi atau sering tidak nyaman dilingkungannya, maka anak tersebut akan menjadi anak yang pendiam, sulit bergaul, selalu ragu-ragu dalam bertindak atau menjadi anak yang pemurung, sehingga mengakibatkan terhambatnya bertumbuhan fisiknya.
Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin pada usia Sekolah Dasar, dalam pertumbuhan fisiknya hamper tidak ada perbedaan yang menonjol sampai mulai terjadi pertumbuhan-pertumbuhan pubertas. Sekitar usia 11-12 tahun, anak perempuan lebih cepat tinggi dan berat dari pada anak laki-laki.
Kesehatan
Anak yang sehat dan jarang sakit, biasanya akan memiliki tubuh yang lebih berat dan tinggi daripada anak yang sering sakit-sakitan. Anak akan terlihat sehat dan segar penampilannya, aktif bergerak seakan tidak mengenal lelah.
Suku Bangsa atau Ras
Keadaan fisik anak dapat juga dipengaruhi oleh suku bangsa atau ras yang diwarisi dari nenek moyangnya. Perhatikan perbedaan fisik antara orang Eropa, Arab dan Asia. Kita dapat mengenali mereka dari cirri fisik yang ditunjukannya.     

Karakteristik perilaku afektif, konatif dan kepribadian

KARAKTERISTIK PERILAKU AFEKTIF, KONATIF DAN KEPRIBADIAN
    Memasuki usia sekolah menengah, lima kebutuhan dari Maslow, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, afilasi sosial, penghargaan dan perwujudan diri. Mulai menunjukan kecenderungan-kecenderungan. Reaksi dan ekspresi emosinya masih labil dan belum terkendali, dan sering berubah dengan cepat. Kecenderungan tipe kepribadian sudah menunjukan pola, meskipun belum begitu terpadu. Kecenderungan minat dan pilihan karier sudah relatif lebih jelas. Masa usia sekolah menengah ini merupakan masa krisis identitas. Sekiranya kondisi psikososialnya menunjang maka akan tampak identitas yang positif, sebaliknya jika tidak menunjang akan tampak identitas yang negatif.
    Karakteristik ini menuntut pemberian contoh perilaku keteladanan dari orang tua, pendidik, para elit politik, para pejabat, dan tokoh-tokoh idola anak usia sekolah menengah. Ambivalensi penerapan nilai dalam berbagai tataran masyarakat dengan disekolah akan menambah kebingungan anak remaja. Oleh karena itu, guru hendaknya memberikan peluang bagi anak usia sekolah menengah untuk belajar bertanggung jawab.  

Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya

BELAJAR BERGAUL DAN BEKERJA DALAM KELOMPOK SEBAYA
Tugas perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk belajar memberi dan menerima dalam kehidupan sosial diantara teman sebaya, belajar berteman dan bekerja dalam kelompok, dalam rangka mengembangkan kepribadian sosial.

    Untuk dapat melaksanakan tugas perkembangan ini, anak harus memiliki keterampilan fisik dan penampilan fisik yang diterima bagi hubungan baik dengan teman sebaya.

     Pada masa anak usia SD, anak-anak mulai keluar dari lingkungan keluarga dan mulai memasuki dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana emosional yang aman dengan hubungan yang erat dengan ibu dan anggota keluarga lainnya kedalam dunia baru yang menuntut anak pandai menempatkan diri diantara teman sebaya yang sedikit banyak akan berlomba dalam menarik perhatian guru. Anak-anak hendaknya belajar memperoleh kepuasan yang lebih banyak dari kehidupan sosial bersama teman sebayanya.

    Proses pembelajaran dalam memasuki kelompok sebaya merupakan proses pembelajaran “kepribadian sosial” yang sesungguhnya. Anak-anak belajar cara-cara mendekati orang asing, malu-malu atau berani, menjauhkan diri atau bersahabat. Anak belajar bagaimana memperlakukan teman-temannya. Ia belajar apa yang disebut bermain jujur (fair play) dalam permainan. Seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan sosial tersebut, cenderung melanjutkannya dalam seluruh kehidupannya. Oleh karena itu, perilaku sosial anak usia 9 atau 10 tahun akan menggambarkan perilaku sosial yang akan dilakukan pada usia 50 tahunan.

     Dalam masyarakat, anak-anak biasanya mempelajari tugas-tugas perkembangan ini dalam kelompok jenis kelamin campuran. Anak-anak kalangan tertentu memiliki keterbatasan dalam melakukan kontak sosial. Hal ini disebabkan oleh pengawasan keluarga terhadap teman bermainnya dan oleh lingkungan tempat tinggal, yang pada umumnya menentukan pilihan sekolah dan hubungan kekerabatan dengan tetangga. Anak-anak pada kelas bawah biasanya memiliki pilihan dan kontak sosial yang lebih bebas disbanding anak-anak kelas menengah.

     Pemenuhan tugas perkembangan ini membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan disekolah. Sekolah merupakan tempat yang kondusif bagi kebanyakan siswa untuk belajar bergaul dan bekerja bersama teman sebaya. Bagi guru memberi perhatian atau tidak, anak-anak tetap menunjukan kepedulian yang besar terhadap tugas perkembangan ini. Sering kali kunci untuk memahami kesulitan anak dalam pelajaran atau perilaku melanggar tata tertib sekolah, bergantung pada tingkat pengetahuan terhadap pencapaian tugas-tugas perkembangan ini.
Guru hendaknya terampil dalam mempelajari dan memahami budaya teman sebaya pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Guru dapat menggunakan sosiometri untuk mempelajari struktur sosial dikelas tertentu.

Jenis jenis kebutuhan anak usia sekolah dasar

JENIS-JENIS KEBUTUHAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Sesuai dengan perkembangan fisik anak usia SD yang bersifat individual, pada masa tumbuh kembang tersebut, kebutuhan anak akan bervariasi misalnya seperti porsi makanan dan minuman meningkat. Karena perkembangan tubuh dan juga kognitifnya, anak usia SD membutuhkan makna yang bergizi sehingga perkembangan fisik dan intelektualnya tidak terhambat.
JASMANIAH
Berkaitan dengan kebutuhan pemeliharaan dan pertahanan diri, anak usia SD memasuki tahapan perkembangan moral dan sosial yang memperhatikan pemuasan keinginan dan kebutuhannya sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Oleh karena itu, guru perlu memberikan kesadaran kepada siswa, bahwa dia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf dengan cara yang baik agar tidak terkena sanksi. Pada masa usia SD, anak juga sudah mulai merasakan adanya kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya baik secara fisik maupun psikis dari orang lain. Contohnya: anak sudah mulai dapat berkelit dengan mengemukakan berbagai alasan, apabila guru menanyakan suatu hal yang dikerjakan secara salah oleh siswa karena takut dimarahi. Perilaku memberi bantahan atau alasan atas perbuatannya timbul sejalan dengan perkembangan berbahasa anak yang sudah mempunyai banyak perbendaharaan kata dan ungkapan-ungkapan. Kebutuhan rasa aman pada siswa akan terpenuhi apabila guru dapat menghadirkan suasana kelas yang tenang dan damai. Keberpihakan seorang guru kepada siswa-siswa tertentu, dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak aman pada siswa, sehingga guru hendaknya dapat bersikap adil dan netral. Namun demikian seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa guru perlu memberikan stimulus-stimulus yang dapat menyadarkan siswa bahwa disiplin dan aturan belajar yang disepakati dan dikompromikan adalah perlu. Sehingga siswa tidak salah mengartikan dengan perilaku yang suka-suka sendiri dalam pemenuhan rasa aman tersebut.

KASIH SAYANG
Pada tahap perkembangan sosial anak usia SD terutama yang duduk dikelas tinggi SD, sudah ingin memiliki teman-teman tetap. Perkembangan tersebut juga sejalan dengan kebutuhanuntuk disayangi dan menyayangi teman. Tidak hanya rasa kasih kepada teman saja, tetapi juga sudah ada kebutuhan untuk memberikan rasa cinta terhadap suatu benda. Misalnya anak usia SD sudah sadar akan mengoleksi sesuatu yang merupakan kesenangannya bisa berupa prangko, komik, kartu, dan sebagainya. Koleksi tersebut dirawat dengan hati-hati serta rasa sayang. Oleh karena itu, guru perlu peka untuk mengarahkan anak-anak agar rasa kasih sayang yang sudah muncul dapat terpelihara dan menjadikan anak-anak bersikap penuh kasih terhadap sesuatu seperti menunjukan minat siswa yang sudah dipunyainya, memupuk serta memelihara minat atu hobi para siswa.

MEMILIKI
Pada masa usia dikelas-kelas rendah diSD, anak-anak sudah mulai meninggalkan dirinya sebagai pusat perhatian. Namun demikian, anak-anak dikelas rendah diSD masih suka memuji diri sendiri, dan membanding-bandingkan dirinya dengan teman. Sehingga kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki masih dominan. Artinya, segala sesuatu baik teman-teman disekolah maupun guru dipandang sebagai punya dirinya sendiri, sehingga kadang-kadang anak usia ini suka meremehkan atau mengacuhkan pendapat teman atau guru. Seperti pada kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, kebutuhan untuk memiliki pada setiap anak akan berbeda tergantung dari perkembangannya. Sedangkan kebutuhan untuk dimiliki adalah berhubungan dengan mulainya masa membentuk gang atau kelompok bermain. Ank-anak ini akan cenderung mengikuti aturan dari kelompok bermainnya atau setia, dan juga menggantungkan dirinya kepada kelompok tersebut. Kebutuhan untuk memiliki ini tidak terbatas pada pemilikan teman saja, tetapi juga pada benda-benda miliknya dan milik teman sekelompoknya. Dia akan menjaga dengan sepenuh hati benda-benda yang menjadi kebanggaannya atau teman gangnya.

AKTUALISASI DIRI
Kebutuhan ini relative lebih abstrak dan kompleks, dan merupakan kebutuhan tingkat tinggi yang pada dasarnya merupakan perkembangan dari kebutuhan-kebutuhan sebelumnya. Kebutuhan ini terasa mulai dominan pada anak-anak usia kelas tinggi diSD. Pada usia tersebut, anak-anak mulai ingin merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya sehingga anak berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan sikap persaingan, atau berusaha mewujudkan keinginannya yang biasanya terdengar sangat tinggi dan muluk seperti ingin jadi juara tinju, pembalap formula, astronot, dan sebagainya.    

Faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan orang dewasa

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ORANG DEWASA
Secara implisit dalam penjelasan terdahulu telah dikatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan orang dewasa. Pendapat para ahli tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu dilandasi oleh aliran yang diyakininya. Para ahli yang mengikuti aliran nativisme, perkembangan orang dewasa itu semata-mata bergantung pada pembawaan (hereditas). Tokoh utama aliran ini ialah Schopenhauer. Seorang filosof jerman.
Aliran filsafat nativisme, yang dijuluki sebagai aliran pesimitis, memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan individu manusia termasuk didalamnya orang dewasa ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Para ahli yang mengikuti pendirian ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsinya dengan menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang dewasa dengan keturunannya.
Para ahli yang mengikuti pendirian empirisisme (empiricism) mempunyai pendapat yang bertentangan dengan pendirian aliran nativisme. Pengikut aliran empirisme berpendapat bahwa perkembangan orang dewasa ini semata-mata bergantung pada faktor lingkungan. Tokoh utama dari aliran ini ialah John Locke. Doktrin terbula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam perkembangan manusia termasuk perkembangan orang dewasa. Perkembangan orang dewasa semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak pada saat dewasa bergantung pada pengalaman atau lingkungan yang mendidiknya.
Jika orang dewasa memperoleh kesempatan yang memadai untuk mempelajari ilmu ekonomi, tentu ia akan menjadi seorang ekonom. Karena ia memiliki pengalaman belajar dibidang ekonomi, ia tak akan pernah menjadi pelukis, walaupun orang tuanya pelukis. Memang amat sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan orang dewasa. Dalam hal ini lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya kualitas perilaku orang dewasa.

Aliran lain berpendapat bahwa perkembangan orang dewasa itu dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan. Aliran ini disebut aliran konvergensi. Aliran konvergensi merupakan gabungan antara aliran empirisme dengan aliran nativisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan orang dewasa. Aliran ini dirumuskan pertama kalinya oleh W.Stern.
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan orang dewasa, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan atau pengalaman dan juga tidak berpegang pada pembawaan saja. Para pengikut aliran nativisme menyatakan bahwa lingkungan dan pembawaan merupakan faktor yang sama pentingnya dalam perkembangan individu. Faktor pembawaan atau keturunan tidak akan berarti apa-apa jika faktor pengalaman atau pendidikan. Demikian juga sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan orang dewasa yang sesuai dengan harapan.
Aliran konvergensi ini berpendapat bahwa perkembangan orang dewasa itu sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan maupun lingkungan. Bakat sebagai kemungkinan yang telah ada pada masing-masing orang dewasa, tidak akan berkembang dengan optimal apabila tidak didukung oleh lingkungan yang sesuai.
Itulah gambaran umum mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu. Berikut ini disajikan secara rinci faktor-faktor khusus  yang paling berpengaruh terhadap perkembangan orang dewasa. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa perkembangan orang dewasa sangat dipengaruhi oleh jenis dasar kemampuan yang telah disampaikan sebelumnya bahwa perkembangan orang dewasa sangat dipengaruhi oleh jenis dasar kemampuan yang telah diletakkan pada masa remaja dan lingkungan perkembangan tempat mereka berinteraksi. Meskipun demikian, ada faktor-faktor tertentu dalam kehidupan orang dewasa yang akan mempermudah perkembangannya. Faktor yang paling berpengaruh tersebut adalah: (1) kekuatan fisik (2) kemampuan motorik (3) kemampuan mental (4) motivasi untuk berkembang dan (5) model peran.      

Selasa, 04 Oktober 2016

Filsafat dari kehidupan sehari hari

    Dari Socrates kita menemukan suatu cara berfilsafat yang bisa dengan mudah kita lakukan. Socrates disebut filsuf sejati karena ia tidak menjadikan filsafat sebagai teori-teori yang ruwet dan membosankan. Socrates menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai dasar dan tujuan kegiatan berfilsafat. Tidak ada istilah yang ruwet dalam kegiatan berfilsafat ala Socrates. Semua orang bisa melakukannya. Tentu saja, semua orang dapat melakukannya.
     Alasan pertama , semua orang memiliki dunia kehidupannya. Dunia kehidupan ini belum tentu telah dijalani dengan baik sehingga menghasilkan kebahagiaan yang tulus. Bisa saja dunia kehidupan itu dilakukan dengan terpaksa atau menuruti kebiasaan orang kebanyakan. Dengan begitu bisa dipastikan tidak dapat menghasilkan kebahagiaan. Inti dialig adalah melahirkan kesadaran hidup baik dari diri sendiri dan kawan bicara. Bagaimana orang harus hidup merupakan urusan semua orang. Karena itu dialog dengan tujuan hidup baik penting bagi siapapun.
     Alasan kedua, semua orang memiliki kegelisahan akan kehidupan yang terus menerus dibayangi kegelisahan atau ketidakpuasan. Namun ketidakpuasan ini jarang terungkap, seringkali kita menganggapnya sebagai gejala kejiwaan yang biasa-biasa saja. Jadi tak pernah dipersoalkan. Lama kelamaan ketidakpuasan itu terus menumpuk dan menghasilkan kesadaran palsu, kita jadi teramat pemarah tanpa alasan yang jelas atau menjadi sangat pemalas. Kita jadi pemarah karena ketidakpuasan yang telah menumpuk itu tak menemukan cara pembebasannya, ia terkurung dan ingin diekpresikan. Namun sekian lama tidak dibahaskan membuat kesadaran itu menjadi sulit dipahami. Pada saat itu yang muncul adalah emosi-emosi yang tak  karuan sebabnya. Demikianpun dengan rasa malas, biasanya rasa malas bermula dari keputusasaan, karena hidup selalu tidak memuaskan maka tak perlu lagi ada usaha. Dialog model Socrates merupakan pembebasan.
     Alasan ketiga, semua orang memiliki pertanyaan tehadap dunia kehidupannya. Juga memiliki sejumlah gagasan dan impian mengenai bagaimana cara hidup yang bahagia. Metode Socrates membutuhkan kejujuran terhadap apa yang dialami, dipikirkan dan dilakukan untuk dikemukakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan rumusan-rumusan sederhana. Metode Socrates tidak membutuhkan pertanyaan yang ruwet atau jawaban yang ilmiah. Pertanyaan atau jawaban yang baik adalah pertanyaan atau jawaban yang berasal dari pengalaman kehidupan. Pertanyaan arau jawaban yang berasal dari teori merupakan kebiasaan kaum sofis, ini ditentang oleh Socrates.

Filsafat manusia

     Jika dalam filsafat dikatakan bahwa manusia terbentuk dari badan dan jiwa, itu tidak berarti bahwa manusia itu seakan-akan terdiri atas dua hal yang dihubungkan bersama-sama, dari dua bahan yang telah dicampuradukakkan yang masing-masing dapat ditempatkan dan digambar secara terpisah. Jadi, filsafat manusia adalah baggian dari filsafat yang secara khusus membahas hakikat manusia. Pada zaman Yunani Kuno, orang sudah mengenal ungkapan yang berbunyi, “kenalilah dirimu sendiri”. Socrates merupakan filsuf pertama yang menganggap bahwa ungkapan ini sebagai ungkapan kefilsafatan yang pokok, beliaulah yang secara tidak langsung memaksa manusia untuk berpikir secara lebih dalam agar mengetahui tentang dirinya sendiri.
    Sudah berabad-abad lamanya manusia berusaha memecahkan masalah dan berusaha mengungkap kebenaran-kebenara tentang manusia. Menurut Gabriel Marcel, manusia bukanlah problem yang akan habis dipecahkan, melainkan misteri yang tidak mungkin disebuutkan sifat dan cirinya secara tuntas karena harus dipahami dan dihayati. Dalam membahas sejarah pemikiran manusia, Ernest Cassirer menandaskan adanya krisis pandangan manusia pada dewasa ini. Sebab dalam keragaman pandangan tentang manusia, tidak ada lagi suatu gagasan sentral. Secara empiris masing-masing pemikir meredusir manusia pada kenyataan faktis semata-mata sesuai dengan sudut pandang yang dipakainya.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia itu terdiri atas dua aspek yang esensial, yakni tubuh dan jiwa. Melihat peran dan fungsi dari kedua aspek yang saling berhibungan maka dapat dipersoalkan mana yang lebih penting, tubuh atau jiwanya? Maka timbullah beberapa aliran, yakni: aliran materialisme, aliran spiritualisme, dan aliran dualisme.
    Aliran materialisme berpendapat bahwa yang penting adalah tubuh manusia. Jiwa dalam tubuh merupakan masalah yang jurang penting karena jiwa hanya membonceng saja dalam tubuh. Manusia merupakan makhluk jasmani yang dinamais. Jiwa adalah gejala sampingan sebagai kesan subjektif yang timbul karena secara pribadi menghayati eksistensi kita sendiri. Jiwa suatu yang abstrak, hanya tubuh yang merupakan sesuatu yang nyata dan benar, dan bersifat objektif.
     Aliran spiritualisme berpendapat bahwa yang terpenting pada diri manusia adalah jiwa (psyche). Tokohnya antara lain Plato, berpendapat bahwa jiwa lebih agung daripada badan, jiwa telah ada di “alam atas” sebelum masuk kedalam badan, jiwa itu terjatuh kedalam hidup duniawi, lalu terikat kepada badan dan lahirlah manusia yang fana. Dalam kerukunannya, jiwa dan badan tidak berdiri berdampingan secara setingkat, melainkan jiwa adalah sesuatu yang keadaannya bergerak sehingga mempunyai taraf realitas yang lain jenis.

Etika filsafat moral

     Etika (filsafat moral) yang terdiri dari etika, moral, dan norma
     Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika meninuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kekacauan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidapan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
    Sifat moral itu bukan sifat lahiriah belaka, tetapi suatu unsur dalam kesadaran kita yang menyertai kesadaran tentang norma-norma. Sifat moral suatu norma merupakan sifat yang kita sadari, kalau masuk dalam fenomena kesadaran moral. Jadi, fenomena kesadaran moral adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran moral. Kesadaran moral muncul apabila kita harus memutuskan sesuatu yang menyangkut hak dan kebahagiaan orang lain. Contoh, jika seseorang mengembalikan uang pinjaman namun ada sisa uang yang baru diketahui setelah orang itu pulang. Oleh karena itu, wajib untuk mengembalikan uang itu. Kesadaran yang menyatakan wajib itulah disebut kesadaran moral.
Manusia disebut etis, ialah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan sosialnya, antara rohani dengan jasmaniahnya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan khaliknya. Suatu persoalan, menjadi persoalan yang bersifat etis atau moral dan bukannya persoalan teknis, atau intelektual semata-mata, apabila keputusan yang akan diambil menyangkut suatu pilihan antara beberapa nilai yang langsung dikaitkan pada dasar kemanusiaan.

Membaca karangan filsafat

     Satu hal yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan berfilsafat adalah seni membaca filsafat. Apa saja yang dapat dianggap sebagai karya atau tulisan filsafat tentunya sangat tergantung pada apa saja yang dapat dianggap sebagai filsafat. Sebagaimana telah kita ketahui apa yang dimaksud dengan filsafat adalah pertanyaan yang kompleks, dan tidak ada jawaban yang pasti. Judul sebuah buku tidak yang tidak mengandung istilah “filsafat” tidak bisa dijadikan dasar untuk menduga bahwa didalamnya kita tidak akan menemukan gagasan-gagasan filsafat yang menarik.
Buku-buku filsafat dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu karya primer dan karya sekundar. Cara kita membaca filsafat akan tergantung pada jenis karya yang kita baca. Karya primer bisa dimulai dengan ide sang penulis sendiri ataupun dengan ide orang lain, tetapi tujuannya adalah untuk mencapai suatu kebenaran berkenaan dengan ide itu. Artikel primer banyak muncul dalam jurnal-jurnal filsafat. Namun, kita dapat saja menemukan artikel-artikel yang secara filosofis sangat menarik dalam jurnal-jurnal sejarah, politik, sastra, dan bahkan sains. Selain buku dan artikel, karya primer filsafat juga dapat kita temui dalam bentuk antologi. Antologi biasanya memuat beberapa artikel terpilih dari buku-buku atau jurnal-jurnal yang sudah pernah diterbitkan sebelumnya, tapi kadang-kadang juga memuat tulisan-tulisan pendek yang ditulis khusus untuk antologi. Antologi juga bisa dikhususkan sebagai kumpulan tulisan seorang filsuf atau tulisan beberapa tokoh tentang bidang tertentu atau juga tulilsan beberapa penulis tentang bermacam-macam topik.                                                                         Karya sekunder berfungsi sebagai tuntunan untuk mengkaji karya primer. Isinya dapat berupa pemaparan pandangan para filsuf, misalnya buku sejarah filsafat, dapat juga mencakup pertanyaan-pertanyaan relevan mengenai detail historis. Karya sekunder juga bisa berupa usaha menjawab atau mengkritisi pernyataan yang disampaikan oleh para filsuf. Namun, ada jenis karya sekunder yaitu berisi ringkasan tentang berbagai permasalahan , kritik, dan pandangan umum dalam filsafat, tanpa mengklaim mewakili pandangan filsuf tertentu. Misalnya, kita mungkin membaca suatu bab dalam sebuah buku yang menguraikan secara ringkas tema-tema pokok dari teori yang disebut Determinisme Lunak.
Membaca karya filsafat merupakan kegiatan yang menyodorkan tantangan, namun sekaligus juga memberikan banyak faedah dalam kehidupan akademis kita. Ada beberapa rintangan yang akan kita hadapi, dan untuk itu perlulah kita mempersiapkan diri. Ide-ide yang dibicarakan oleh para filsuf kadang-kadang terkesan asing,tidak biasa, apalagi bila dengan gaya pengungkapan yang kompleks.
     Kita mungkin tidak hanya menjumpai kata-kata sulit, melainkan juga kalimat-kalimat yang rumit, yang kadang-kadang ditulis dalam gaya bahasa zaman dulu. Perasaan bahwa tulisan-tulisan filsafat harus langsung dapat dimengerti mungkin tetap ada, karena kita umumnya selalu menganggap diri sebagai filsuf amatir. Namun, berfilsafat secara amatiranpun menuntut kerja kerja keras dan latihan. Maka, mau tidak mau, kita akan membaca karya-karya filsafat, yang kebanyakan ditulis dalam cara yang barang kali kurang lumrah bagi kita.

Filsafat sebagai hasrat

Filsafat sebagai hasrat akan kebijaksanaan akan tumbuh dalam diri manusia ketika manusia dihinggapi oleh rasa kagum dan rasa heran. Rasa heranlah yang membuat manusia berbeda dengan binatang atau tumbuhan. Binatang secara umum menganggap dunia kehidupannya sebagai biasa-biasa saja, tetapi manusia seharusnya tidak. Rasa biasa hanya pada permulaannya saja, terutama ketika kehidupan sudah demikian mekanis. Maksudnya, ketika seluruh kegiatan kita dilakukan secara begitu saja: bangun pagi, shalat subuh, pergi kekampus, siangnya pulang, istirahat, nonton TV, tidub bangun lagi esok harinya dengan cara sama. Namun selalu ada saat saat istimewa yang membuat kita terhenyak dan membuat kita keheranan, seperti gugurnya bunga jambu itu. Rasa heran muncul pada saat membayangkan gugur pohon jambu itu adalah saya, yang juga gugur gugur berulang kali tanpa menghasilkan buahnya. Saat itulah saya menanyakan makna dan sebab. Apakah saya tak lebih dari pohon jambu? Apakah saya rela terus mengalami keguguran sebelum menghasilkan buahnya? Rasa heran mematahkan belenggu rasa biasa sekaligus menyadarkan bahwa manusia harus lebih dari sekedar pohon jambu.
Hidup manusia tak boleh hanya sekedar mengulang kegiatan yang sama. Ada banyak kegiatan yang kita anggap biasa-biasa saja, membuat kita enggan mengubahnya. Kita terkurung didalamnya yang akhirnya kita tak pernah menjadi apa-apa atau siapa-siapa. Kita menjadi tawanan dari dari kebiasaan kita. Situasi ini sangat menyedihkan, karena sebagai manusia kita tak sekedar menempati tempat ruang kehidupan. Lebih dari itu, kita berkewajiban untuk berkarya, memberi warna pada dunia.
Bila kita mulai menyadari inti kemanusiaan sebagai pemberi warna kehidupan, kita akan mengambil jarak terhadap hal ihwal sehari-hari. Dengan memperhatikan secara seksama, kita mengamati tindakan-tindakan yang telah dianggap biasa saja, sudah seharusnya begitu, dan begitulah sebenarnya. 

Minggu, 02 Oktober 2016

Pengertian filsafat

     Filsafat adalah cara untuk menemukan keberanian dalam merumuskan diri sendiri. Dalam filsafat kita menemukan pertanyaan pertanyaan yang terus tidak menemukan kepastian jawabannya. Semuanya dapat ditemukan dalam formasi yang wajar, maksudnya kesalahan dalam filsafat tampak sebagai suatu kemestian manusiawi dan karena itu tak perlu ada rasa takut dan malu terhadap kesalahan. Dalam filsafat kita dapat menemukan banyak cara pandang yang berbeda terhadap satu soal dan semuanya tidak menjadi soal bahkan akan menghasilkan kesadaran kesadaran yang luar biasa. Cara pandang yang berbeda sangat penting bagi kita saat ini, terutama karena kita telah disadarkan oleh proses perubahan sosial bahwa kesamaan cara pandang bukannya menyelesaikan masalah malah mengkekalkan masalah.
     Belajar filsafat itu untuk berhasrat pada kearifan atau belajar untuk mencintai kearifan. Kearifan bukan sejenis benda yang bisa diambil dari luar diri untuk dimiliki, tetapi kearifan itu dihasilkan dari kesadaran akan diri pribadi. Kearifan secara demikian tak bisa dipelajari dan tak ada satupun yang bisa mengajarkannya. Kearifan ini hasil dari mengalami kehidupan pribadi dengan cara bercermin terhadap pengalaman hidup orang lain. Cermin itumemantulkan manusia yang wajahnya sama dengan diri kita.
     Ada perbedaan antara kepandaian dan kearifan. Kepandaian adalah kemampuan untuk menunjukan semata mata secara rasional apa yang dapat kita wujudkan dari data data melalui bertukar pikiran secara logis. Sedangkan, kearifan adalah sikap untuk mengambil suatu pendirian tertentu dalam kehidupan kita berdasarkan hasil kepandaian tadi. Agar dapat benar benar hidup, kita harus mempunyai perspektif (cara memandang) atas kehidupan ini dan dengan itu atas kenyataan hidup yang dialami. Kearifan akan membawa seseorang kedalam suatu kenyataan tertentu sedemikian jauh, sehingga ia mengerti tentang apa yang dipermasalahkannya. Seseorang bisa saja terlihat pandai, namun ia hanya mengatakan perspektif orang lain bukan perspektif dirinya, bukan hasil olahan dari apa yang benar benar dialaminya secara mendalam. Sebaliknya, seorang bijak adalah yang tak menunjukan kepandaiannya namun dapat menunjukan cara pandang baru yang menyelamatkan kediriannya.
   

Peranan filsafat

     Sesungguhnya filsafat telah memerankan sedikitnya 3 peranan utama dalam sejarah pemikiran manusia. Ketiga peranan yang telah dilerankannya sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing.
     1. Pendobrak
         Berabad abad lamanya.        intelekualitas manusia tertawan dalam   tradisi dan kebiasaan. Manusia terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal hal serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos. Manusia menerima begitu saja segala penuturan dongeng dan takhayul tanpa mempersoalkan lebih lanjut. Orang beranggapan bahwa karena segala dongeng dan takhayul itu merupakan bagian yang hakiki dari warisan tradisi nenek moyang, sedangkan tradisi itu benar dan tidak dapat diganggu gugat maka dongeng dan takhayul itu pasti benar dan tidak boleh diganggu gugat. Keadaan tersebut berlangsung cukup lama. Kehadiran filsafat telaah mendobrak pintu dan tembok tembok tradisi yang begitu sakral dan selama itu tidak boleh diganggu gugat. Kendati pendobrak itu membutuhkan waktu yang cukup panjang, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa filsafat benar benar telah berperan selaku pendobrak yang mencengangkan.
     2. Pembebasan
         Filsafat bukan sekedar mendobrak pintu tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos, melainkan juga merenggut manusia keluar dari dalam mitos itu. Filsafat membebaskan manusia dari katidaktahuan dan kebodohannya. Demikian pula, filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir mistis.
     3. Pembimbing
         Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang mistis dengan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih dengan membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan logis.